Pendekatan Kesusastraan dalm Ilmu Budaya Dasar
Manusia wajib mengenal sastra sebab sastra adalah sebuah pengaspresiasikan diri untuk diteladani. Sastra juga menuntut manusia agar manusia mau mempelajari sastra terutama sastra Indonesia. Manusa diberi akal dan pikiran untuk meneladani sastra dengan wujud pengenalan, kesenangan dan keseringan menulis agar manusia mempunyai daya tarik tersindiri dalam dunia sastra.
Ibd sangat terkait dengan kesusastraan sebab ilmu budaya dasar adalah pengetahuan yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan kebudayaan .
Pengertian Kesusastraan
Manusia wajib mengenal sastra sebab sastra adalah sebuah pengaspresiasikan diri untuk diteladani. Sastra juga menuntut manusia agar manusia mau mempelajari sastra terutama sastra Indonesia. Manusa diberi akal dan pikiran untuk meneladani sastra dengan wujud pengenalan, kesenangan dan keseringan menulis agar manusia mempunyai daya tarik tersindiri dalam dunia sastra.
Ibd sangat terkait dengan kesusastraan sebab ilmu budaya dasar adalah pengetahuan yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan kebudayaan .
Pengertian Kesusastraan
Secara
etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah.
“sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi
sekarang pengertian “Kesusastraan” berkembang melebihi
pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Sebuah
cipta sastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh
irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya.
Sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam
masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan
realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih
tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah
semata tiruan daripada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup
(imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam
dan kehidupan itu (interpretation of life).
Sebuah
ciptasatra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusian.
Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan
manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang
dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang
lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat
kehidupan.
Dapat saja
sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya
karyasastra yang besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”,
namun sebetulnya manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan
kehidupan manusia akan tetapi ditulis perlambang-perlambang.
Sebuah
ciptasasra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup
yang musykil. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan
dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra
mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia
meskipun berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka
ditakdirkan untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh
perjuangan dan ancaman-ancaman, bahwa kemanusiaan itu adalah satu, “ Mankind is
one”, dan sama di mana-mana. Inilah yang diungkapkan dan ingin dikatakan
kesusastraan. Alangkah besar dan luasnya, bukan?
Jika
disimpulkan maka “kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat)
melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan).
Nilai – nilai yang terkandung dalam Sastra
Nilai
yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:
(1)
nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung
kepada pembaca;
(2)
nilai artistik, yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau
keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
(3)
nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang
mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaanl;
(4)
nilai etis, moral, agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan
petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5)
nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Sastra Bernuansa Sejarah
Peristiwa
masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah pandangan itu? Secara sekilas,
pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiaanya mungkin saja tampil
pada masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan
timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah" karena peristiwa
pada masa lampau dapat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada
hari esok.
Karya
sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekamam fakta sejarah yang
sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun demikian, karya itu juga bukan
sepenuhnya buah imajinasi pengarangnya.
Nilai
kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel
Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963),
Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam
Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh.
Kendati ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu
menjangkau dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya
pada cukilan percakapan di bawah ini.
Cut Meutia agak termangu-mangu.
... "Tuhan,
aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat tenagaku. Tak ada
mati yang kuharapkan mati syahid dalam mempertahankan agama, bangsa, dan tanah
airku yang suci ini."
Begitulah
Iskandar menitipkan pesan jiwa patriotisme. Dengan demikian, di dalam karya itu
tersirat juga nilai kepahlawanan.
Sastra dan Nilai Budaya Daerah
Sebagian
besar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain
sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah fikiran suku atau puak
yang mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta
ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan
dengan nilai budaya daerah.
Sistem
nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat
sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat berupa
adat-istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak
budaya yang adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan
timbul rasa menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik
bersama, seperti ada rasa memiliki terhadap ungkapan di dalam bahasa Jawa tut
wuri handayani dan pepatah bulat air kerena buluh, bulat kata karena
mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah
menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan
karena tidak hormat kepada orang tua."
Sastra dan Kebenaran
Seseorang
yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca
karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran
dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin
sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya
memberdayakan bahasa sebagai sarananya.
Betapapun
hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu
menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi
disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan
bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya
itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang
dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu,
pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya
benar.
Bila
karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa
dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam
kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu
karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang
dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung
jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan
melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang
perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
Kebenaran
dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam
kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran
yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para
penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang
berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos
"Ramayana" dan "Mahabarata".
Sastra dan Agama
Agama
bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat kemasyarakatan merupakan
daya penyatu yang amat sentral dalam pembinaan kebudayaan. Agama mampu mengawal
hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka kearifan dan kebijakan.
Seiring
dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor kreatif dan dinamis,
perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, kita pun dapat
mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang
telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Peran
agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai sumber ilham, patut
pula diperhitungkan. Sebaliknya, acapkali karya sastra bermuara pada ajaran
agama. Bahkan, dalam kenyataan, agama merupakan ambang pintu bagi segenap
kesusastraan agung di dunia serta sumber filsafat yang selalu mengacu
kepadanya.
Sebagai
karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan, yang
bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan
pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal itu tentu ada kaitannya dengan tiga
wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra: kehidupan
agama, sosial, dan individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra
dapat berfungsi sebagai peneguh suasan batin pembaca dalam menjalankan
keyakinan agamanya.
Petikan
sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S. Hartojo) tergolong
karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.
Di depan-Mu sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....
Keagungan
Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepada Sang Khalik juga dapat ditemukan
dalam sejumlah karya sastra Indonesia.
Bentuk-bentuk Kesusastraan
Ada beberapa bentuk kesusastraan :
Seperti
yang sudah kita ketahui bahwa puisi merupakan bagian dari seni sastra,
sedangkan sastra merupakan bagian dari kesenian, dan kesenian adalah unsure
dari kebudayaan. Sehingga Puisi dapat diartikan ekspresi pengalaman jiwa
penyair mengenai kehidupan manusia, alam dan Tuhan melalui media bahasa yang
artistik/estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya.
Kepuitisan,
keartistikan atau keestetikaan bahsa puisi disebabkan oleh kreativitas penyair
dalam membangun puisinya dengan menggunakan
- Figura bahasaa
- Kata-kata yang ambiguitas
- Kata-kata yang berjiwa
- Kata-kata yang konotatif
- Pengulangan
Cerita-cerita
(fiksi) sering dibedakan atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen),
novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpanya hanya
dikenal istilah : cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang
kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika adalah juga “novel”.
Cerita-pendek(cerpen)
Merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen
kehidupan manusia. Daripada tidak dituntut terjadinya suatu perobahan nasib
dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia,
yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.
Novel
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia
(dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa
contoh novel dalam kesusastraan Indonesia misalnya adalah “Belenggu” karya
Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.
Esei
adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan, komentar,
pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esei bersifat subjektif, suatu
pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi dan pendirian
pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan keinginannya
terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup pada umumnya. Dalam esei
tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esei bersifat sugestif dan
lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif.
Berbeda
dengan esei adalah studi. Ia merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu
kritik juga bersifdat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang
objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik (sastra) yang
baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada
memberikan vonis. Beberapa penulis esei yang terkenal dalamf kesusastraan Indonesia
adalah Gunawan Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh
(Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh kritikus yang
terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung,
J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus dan lain-lain.
Drama
seperti juga sastra lainnya merupakan bagian-bagian dari komunikasi
antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak manusia (penulis) untuk berkomunikasi
secara tidak langsung. Keinginan penulis ingin berbicara tentang manusia dan
kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan, tentang hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam, dan dengan Tuhan ditandai
oleh pola hubungan manusia melalui dialog. Peranan dialog dalam karya sastra
sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili penulis dalam hal
penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada
penonton melalui para pekerja teater (produser, sutradara, aktor, dan perangkat
lainya) sehingga terwujud atau tervisualisasi sebuah naskah drama yang menjadi
tontonan yang berarti dan bermakna.
Objek
harapan karya sastra draman, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan
kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup
manusia, yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu,
struktur dramatik yang dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga,
yaitu bagian awal (eksposisi), komplikasi (konflik), bagian tengah
(klimaks/krisis), dan bagian akhir (resolusi).
Penulis
drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menyatakan kedirian atau
falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia
tentang bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekedar ingin
mengisahkan pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah
ia dapat atau mau mengambil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam
karya drama pengarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam
kehidupan manusia (subject matter) sebagai bahan untuk
menyatakan/mengekspresikan ide-idenya dalam cerita (tema). Hal lain yang
menandai karya sastra drama adalah penulis/pengarang menggunakan unsur bahasa
dalam karangannya berupa bentuk dan gaya. Dalam hal bentuk penulis/pengarang
drama dapat memilih cerita seperti tragedi, tragedi komedi, dan komedi. Selain
itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis drama dapat memilih gaya,
seperti realistik, romantik, atau absurd.
0 komentar:
Posting Komentar