Minggu, 04 Maret 2012

Konsep Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan


Pendekatan Kesusastraan dalm Ilmu Budaya Dasar
Manusia wajib mengenal sastra sebab sastra adalah sebuah pengaspresiasikan diri untuk diteladani. Sastra juga menuntut manusia agar manusia mau mempelajari sastra terutama sastra Indonesia. Manusa diberi akal dan pikiran untuk meneladani sastra dengan wujud pengenalan, kesenangan dan  keseringan menulis agar manusia mempunyai daya tarik tersindiri dalam dunia sastra.

Ibd sangat terkait dengan kesusastraan sebab ilmu budaya dasar adalah  pengetahuan yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan kebudayaan .  

 

Pengertian Kesusastraan
Secara etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan” berkembang melebihi
pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.

Sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah semata tiruan daripada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life).

Sebuah ciptasatra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusian. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat kehidupan.

Dapat saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia akan tetapi ditulis perlambang-perlambang.

Sebuah ciptasasra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang musykil. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia meskipun berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka ditakdirkan untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman, bahwa kemanusiaan itu adalah satu, “ Mankind is one”, dan sama di mana-mana. Inilah yang diungkapkan dan ingin dikatakan kesusastraan. Alangkah besar dan luasnya, bukan?

Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

Nilai – nilai yang terkandung dalam Sastra

Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:

(1) nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;

(2) nilai artistik, yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;

(3) nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaanl;

(4) nilai etis, moral, agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;

(5) nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.


Sastra Bernuansa Sejarah

Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah pandangan itu? Secara sekilas, pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiaanya mungkin saja tampil pada masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah" karena peristiwa pada masa lampau dapat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada hari esok.

Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekamam fakta sejarah yang sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun demikian, karya itu juga bukan sepenuhnya buah imajinasi pengarangnya.

Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963), Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh. Kendati ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu menjangkau dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada cukilan percakapan di bawah ini.

Cut Meutia agak termangu-mangu.

... "Tuhan, aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat tenagaku. Tak ada mati yang kuharapkan mati syahid dalam mempertahankan agama, bangsa, dan tanah airku yang suci ini."

Begitulah Iskandar menitipkan pesan jiwa patriotisme. Dengan demikian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan.


Sastra dan Nilai Budaya Daerah

Sebagian besar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah fikiran suku atau puak yang mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan nilai budaya daerah.

Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat berupa adat-istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya yang adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti ada rasa memiliki terhadap ungkapan di dalam bahasa Jawa tut wuri handayani dan pepatah bulat air kerena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."



Sastra dan Kebenaran

Seseorang yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai sarananya.

Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.

Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.

Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.

Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarata".



Sastra dan Agama

Agama bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat kemasyarakatan merupakan daya penyatu yang amat sentral dalam pembinaan kebudayaan. Agama mampu mengawal hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka kearifan dan kebijakan.

Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor kreatif dan dinamis, perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, kita pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Peran agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai sumber ilham, patut pula diperhitungkan. Sebaliknya, acapkali karya sastra bermuara pada ajaran agama. Bahkan, dalam kenyataan, agama merupakan ambang pintu bagi segenap kesusastraan agung di dunia serta sumber filsafat yang selalu mengacu kepadanya.

Sebagai karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan, yang bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal itu tentu ada kaitannya dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra: kehidupan agama, sosial, dan individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh suasan batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.

Petikan sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S. Hartojo) tergolong karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.

Di depan-Mu sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....

Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepada Sang Khalik juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indonesia.


Bentuk-bentuk Kesusastraan
Ada beberapa bentuk kesusastraan :

Puisi

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa puisi merupakan bagian dari seni sastra, sedangkan sastra merupakan bagian dari kesenian, dan kesenian adalah unsure dari kebudayaan. Sehingga Puisi dapat diartikan ekspresi pengalaman jiwa penyair mengenai kehidupan manusia, alam dan Tuhan melalui media bahasa yang artistik/estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya.

Kepuitisan, keartistikan atau keestetikaan bahsa puisi disebabkan oleh kreativitas penyair dalam membangun puisinya dengan menggunakan
  • Figura bahasaa
  • Kata-kata yang ambiguitas
  • Kata-kata yang berjiwa
  • Kata-kata yang konotatif
  • Pengulangan

Cerita Rekaan (fiksi)

Cerita-cerita (fiksi) sering dibedakan atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen), novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpanya hanya dikenal istilah : cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika adalah juga “novel”.

Cerita-pendek(cerpen)
Merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Daripada tidak dituntut terjadinya suatu perobahan nasib dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia, yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.

Novel
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan Indonesia misalnya adalah “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.

Essay dan Kritik

Esei adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esei bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup pada umumnya. Dalam esei tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esei bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif.

Berbeda dengan esei adalah studi. Ia merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga bersifdat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik (sastra) yang baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis. Beberapa penulis esei yang terkenal dalamf kesusastraan Indonesia adalah Gunawan Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh kritikus yang terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus dan lain-lain.

Drama
Drama seperti juga sastra lainnya merupakan bagian-bagian dari komunikasi antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak manusia (penulis) untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Keinginan penulis ingin berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan, tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam, dan dengan Tuhan ditandai oleh pola hubungan manusia melalui dialog. Peranan dialog dalam karya sastra sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili penulis dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada penonton melalui para pekerja teater (produser, sutradara, aktor, dan perangkat lainya) sehingga terwujud atau tervisualisasi sebuah naskah drama yang menjadi tontonan yang berarti dan bermakna.

Objek harapan karya sastra draman, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup manusia, yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu, struktur dramatik yang dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga, yaitu bagian awal (eksposisi), komplikasi (konflik), bagian tengah (klimaks/krisis), dan bagian akhir (resolusi).

Penulis drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menyatakan kedirian atau falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia tentang bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekedar ingin mengisahkan pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah ia dapat atau mau mengambil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam karya drama pengarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam kehidupan manusia (subject matter) sebagai bahan untuk menyatakan/mengekspresikan ide-idenya dalam cerita (tema). Hal lain yang menandai karya sastra drama adalah penulis/pengarang menggunakan unsur bahasa dalam karangannya berupa bentuk dan gaya. Dalam hal bentuk penulis/pengarang drama dapat memilih cerita seperti tragedi, tragedi komedi, dan komedi. Selain itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis drama dapat memilih gaya, seperti realistik, romantik, atau absurd.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;